Senin, 07 Oktober 2013

Angin Liar Retak

Malam remang melantunkan lagu lamanya, dingin berkesepian, menakutkan. Tak tahukah engkau, saat ini bintang dilangit lagi bermuram durja, disaput mendung menggantung, tak henti hentinya merengek rengek pada rembulan, agar segera diturunkan serinai hujan. Sebahagia akukah engkau, yang bermalam dengan sepotong daging kambing rebus, kuah belimbing berbacam ikan sepat kering dan saos wijen. Hidup ini agak liat memang, tapi kalau engkau mengunyahnya dengan pelan dan hati hati, tak ada kenikmatan yang tak bisa dikecap. Jangan dikenang. Siapa yang menghujat? Entahlah, kebosanan kadang sering datang tanpa diundang. Siapa takut? Kejenuhan bisa jadi membawa nikmat bila sempat kau hantarkan beserta sekaleng bir dan sebungkus popcorn rasa pedas. Lupakan semuanya, kekasih yang malas berdandan lagi, setelah puas mengarungi berlekuk kenikmatan berhidup ranjang. Ayo tunggu apalagi, kekasih lama menanti di perempatan jalan. Bagaimana dengan kenangan ikan panggang di pantai lapuk, bukankah baunya terasa gurih dan menantang. Dimana para pecundang? Lupakan saja, toh permainan hidup tak boleh dibawa ke tempat tidur, apalagi mempermasalahkan dengkur kekasih yang kelelahan. Bagaimana dengan anak anak? Wah, biarkan saja, mereka adalah dunia kecil kita, yang merasa tak memilikinya tanpa tangisan merajuk, merengek, memanja. Kekasihku, katanya dengan menggelayutkan selingkar tangannnya yang kukuh dan sedikit ramping, masak apa kita hari ini, atau kita serahkan saja sementara, pada koki langganan kita, nan gendut dan sedikit menjengkelkan, kala merasa hidangannya belum sempurna benar, sementara tangan kita tak sabar, ribut melulu memainkan sendok garpu di meja pesanan. Segeralah berangkat dewasa wahai kekasih kecilku, kapan kita bersua. Aku sudah tak ragu menunggu, sebait puisi, segelas sampanye, sepotong daging panggang, cukup untuk menorehkan kenangan runyam pada malam purnama menjelang. Katanya, tak suka daging panggang, baunya yang mengundang dan meranggas selera, serasa membuatku selalu ingin berlarian di padang rumput ilalang sepi. Sebaiknya kita menepi saja, disini sudah terasa lapang, segera lepas seleramu, jangan sampai aku memendam makian yang tak berkesudahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar