Jumat, 13 September 2013

Horor Terik Pagi


Masih kuingat masa itu,masa kecil saat bermain naik-loncatan di bibir perahu pasir,yang bergerak perlahan, didayung-pundak sebilah bambu ditepi kali Brantas ini, tapi media menyebutnya kali Mas, Karena, konon dulu airnya keruh berwarna kuning-mentah, sekarang tatkala kisah ini mengalir dalam guratan nadi rasaku, airnya bening kehijauan. Pertanda, kwalitas air Brantas mulai sehat.
Pagi yang melahirkan angin semilir, disela hanyutan onggokan sampah softex,  buntalan bulu-ayam dan kemasan plastik, membuatku miris-gelisah. Kenapa dibuang ke sungai, menjadikan sesak nafas para ikan-penghuni air dan merusak pemandangan. Angin pagi dibulan sembilan  menggoyang-anggukkan daun pisang yang tumbuh ditepiannya, membuat sekelompok ikan cucut mengambang dipermukaan pinggir, air kali yang mengalir tenang, saling bermesraan,  meng-kencani betinanya bergantian, tanpa perseteruan.
Pohon ketepeng yang tumbuh liar, daunnya  menjuntai ke permukaan kali, membuat keteduhan asri, hingga sekelompok ikan cucut sesapu lidi itu kerasan berada dalam naungan-teduhnya. Di sebelah sana, terdapat seonggok gulma-enceng gondok berdaun lebat, akarnya yang lembut tampak membayang dipermukaan, tempat para ikan dan siput air menitipkan telurnya. Terlihat seekor anak biawak melompat lompat, berayun didedaunan itu, mencoba meraih seekor capung yang hinggap, untuk melepas rasa laparnya di pagi itu. Perahu tambang, dengan juru mudi bercaping, dengan pakaian lorek-Madura, bergerak mengendalikan perahu, tubuhnya yang ringkih, berlenggak-lenggok lembut-menetegang, mengantarkan para penyeberang ber-sepeda motor, pejalan kaki atau buruh pabrik berseragam, berangkat kerja, yang siap memacu produksi demi kemajuan perusahaan para tuannya. Lengannya yang berotot, lembut-kuat, menari-nari merambati 2 tambang sejajar, sebagai tambatan perahu itu, yang hanyut-mengalir. Hanya dengan 10 sen dollar atau seribu rupiah, kali itu sudah terseberangi, katanya daripada jalan memutar panjang menyita waktu. Pangkalan perahu itu terbuat dari jalinan bambu, yang dipatok mengitari dermaga mini terbuat dari papan.
Dulu 1293, konon delapan perahu Jung-Mongol, mengaliri sungai ini menuju Kediri, untuk melakukan hukuman pada Kertanegara. Sekarang tiada lagi perahu yang mengaliri kali ini, walaupun untuk mengeruk pasir-dasarnya, katanya dasar kali ini sudah dipenuhi dengan endut atau ekstrak sampah limbah kertas, hilang sudah kenangan indah masa kecilku, 1970-an.
Beberapa bulan yang lalu, ikan kali pada mabuk, menggelepar-gelepar menanti ajal. Walaupun telah membuat penduduk tepian kali bersoak karena rejeki dadakan, dengan berrkintal tangkapan, tapi tetap saja bibit-anak ikan pada mati sia-sia, memupuskan harapan hidupnya dan musnah tak bersisa, seperti ikan sili, papar, bulus, areng-areng dan kijing.
Kali ini harus diberdayakan dengan menjadikannya tempat wisata air dan studi biota air tawar, jika ingin tampak mengalir, bening bersih, asri dan sehat.
(Kali Brantas-Kebraon, Surabaya 10 September 2013)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar