Minggu, 08 September 2013

Misteri Jelang Maghrib


Saat rona masih menyala menerangi ujung langit barat, jelang sore, aku meradang. Diatas, langit biru muda menangkup senja disaput tipis awan stratocomuls , yang berlapis lapis seputih kapas. Kukayuh sepeda mungilku menuju persawahan. Binar hatiku, tatkala mendengar derai canda ceria sekelompok remaja, diatas sepeda motornya, berderet deret menghiasai jalanan. Para gadis remaja memeluk sore, menanti tutup matahari,
Tertawa bangga, memamerkan pahatan tattoo gaya India di lengannya. Di tepi jalan persawahan menuju makam itu, aku rehat. Tepekur takzim mendengar suara alam, menikmati hawa sejuk menyegarkan. Angin lembut menggoyang dedaunan mangga, dirinai kicauan gelisah sekawanan burung gereja yang bersiap menutup harinya untuk berangkat tidur. Sesekali terdengar kotekan suara percil, si anak kodok bersaut-sautan disela sela singkapan tanah persawahan yang selepas bajak, berbaris seperti gumpalan roti. Airnya yang menggenang, membuat suasana persawahan terasa dingin-tenang. Di-ujung sana, ditepi pematang, terlihat bendera plastik hitam putih -partai petani- berkibar menancapkan kegagahannya, menjaga para petani yang bekerja keras berjuang menumbuhkan harapannya. Sementara itu, suara salawat pujian pada rosul dari menara masjid berkumandang lembut, menyambut kematian siang. Seorang petani dengan tabung semprotan pupuk dipunggungnya, belum mengakhiri kewajibannya, berusaha terus menjagahamparan bibit padi bak beledu menghijau itu, untuk tumbuh subur. Sore kian remang, burung Dedali gelisah terbang kesana-kemari, sesekali menjeritkan isyarat untuk segera istirah mengakhiri kehidupan siangnya. Kelelawar saling berkejaran, mencicit, memulai kehidupannya dengan mengejar betinanya, menagih janji untuk bercinta. Sepi-sore, awal senja yang tenang dan sejuk itu,  membuat dadaku terasa lapang. Dan saat terdengar suara adzan berkumandang, aku pulang dengan hawa sejuk merasuk dada, untuk hadir menyerahkan diri-kalah di altar persembahan iman. Rama ramapun sibuk menjalankan takdir keluar malamnya. Disaksikan bulan sabit coklat, mengangkasa, menggaris tipis bak alis perawan dengan hiasan setitik bintang sore, bertengger manja disampingnya. Sesaat akan meninggalkan persawahan itu, masih sempat kutoleh beberapa petak-menikar, hambaran gabah tertabur diatas lumpur persemaian, penuh pengharapan. Terima kasih Pak Tani, semoga panen kali ini membawa keberhasilan, keberuntungan dan kesetiaan pada tanah lumpur persawahan yang konon, kian hari kian susut luasnya.
(Sawah Bogangin, Surabaya-8 September 2013) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar