Saat rona masih menyala menerangi ujung langit barat, jelang
sore, aku meradang. Diatas, langit biru muda menangkup senja disaput tipis awan
stratocomuls , yang berlapis lapis seputih kapas. Kukayuh sepeda mungilku menuju persawahan. Binar hatiku, tatkala mendengar derai canda ceria sekelompok
remaja, diatas sepeda motornya, berderet deret menghiasai jalanan. Para gadis remaja memeluk sore,
menanti tutup matahari,
Tertawa bangga, memamerkan pahatan tattoo gaya
India di
lengannya. Di tepi jalan persawahan menuju makam itu, aku rehat. Tepekur takzim mendengar suara alam, menikmati hawa sejuk
menyegarkan. Angin lembut menggoyang dedaunan mangga, dirinai kicauan
gelisah sekawanan burung gereja yang bersiap menutup harinya untuk berangkat
tidur. Sesekali terdengar kotekan suara percil, si anak kodok
bersaut-sautan disela sela singkapan tanah persawahan yang selepas bajak, berbaris
seperti gumpalan roti. Airnya yang menggenang, membuat suasana persawahan terasa
dingin-tenang. Di-ujung sana,
ditepi pematang, terlihat bendera plastik hitam putih -partai petani- berkibar menancapkan kegagahannya,
menjaga para petani yang bekerja keras berjuang menumbuhkan harapannya. Sementara itu, suara salawat pujian pada rosul dari menara
masjid berkumandang lembut, menyambut kematian siang. Seorang petani dengan tabung semprotan pupuk dipunggungnya,
belum mengakhiri kewajibannya, berusaha terus menjagahamparan bibit padi bak beledu menghijau itu, untuk tumbuh
subur. Sore kian remang, burung Dedali gelisah terbang
kesana-kemari, sesekali menjeritkan isyarat untuk segera istirah mengakhiri
kehidupan siangnya. Kelelawar saling berkejaran, mencicit, memulai kehidupannya
dengan mengejar betinanya, menagih janji untuk bercinta. Sepi-sore, awal senja yang tenang dan sejuk itu, membuat dadaku terasa lapang. Dan saat terdengar suara adzan berkumandang, aku pulang
dengan hawa sejuk merasuk dada, untuk hadir menyerahkan diri-kalah di altar
persembahan iman. Rama ramapun sibuk menjalankan takdir keluar malamnya. Disaksikan bulan sabit coklat, mengangkasa, menggaris tipis
bak alis perawan dengan hiasan setitik bintang sore, bertengger manja
disampingnya. Sesaat akan meninggalkan persawahan itu, masih sempat
kutoleh beberapa petak-menikar, hambaran gabah tertabur diatas lumpur
persemaian, penuh pengharapan. Terima kasih Pak Tani, semoga panen kali ini membawa
keberhasilan, keberuntungan dan kesetiaan pada tanah lumpur persawahan yang
konon, kian hari kian susut luasnya.
(Sawah Bogangin, Surabaya-8 September 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar