Masih kuingat masa itu,masa kecil saat bermain naik-loncatan di bibir perahu pasir,yang bergerak perlahan, didayung-pundak sebilah bambu ditepi kali Brantas ini, tapi media menyebutnya kali Mas, Karena, konon dulu airnya keruh berwarna kuning-mentah, sekarang tatkala kisah ini mengalir dalam guratan nadi
rasaku, airnya bening kehijauan. Pertanda, kwalitas air Brantas
mulai sehat.
Pagi yang melahirkan angin semilir, disela hanyutan onggokan
sampah softex, buntalan bulu-ayam dan kemasan
plastik, membuatku miris-gelisah. Kenapa dibuang ke sungai, menjadikan sesak
nafas para ikan-penghuni air dan merusak pemandangan. Angin pagi dibulan
sembilan menggoyang-anggukkan daun
pisang yang tumbuh ditepiannya, membuat sekelompok ikan cucut mengambang
dipermukaan pinggir, air kali yang mengalir tenang, saling bermesraan, meng-kencani betinanya bergantian, tanpa
perseteruan.
Pohon ketepeng yang tumbuh liar, daunnya menjuntai ke permukaan kali, membuat
keteduhan asri, hingga sekelompok ikan cucut sesapu lidi itu kerasan berada
dalam naungan-teduhnya. Di sebelah sana, terdapat seonggok gulma-enceng gondok
berdaun lebat, akarnya yang lembut tampak membayang dipermukaan, tempat para
ikan dan siput air menitipkan telurnya. Terlihat seekor anak biawak melompat
lompat, berayun didedaunan itu, mencoba meraih seekor capung yang hinggap,
untuk melepas rasa laparnya di pagi itu. Perahu tambang, dengan juru mudi
bercaping, dengan pakaian lorek-Madura, bergerak mengendalikan perahu, tubuhnya
yang ringkih, berlenggak-lenggok lembut-menetegang, mengantarkan para
penyeberang ber-sepeda motor, pejalan kaki atau buruh pabrik berseragam,
berangkat kerja, yang siap memacu produksi demi kemajuan perusahaan para
tuannya. Lengannya yang berotot, lembut-kuat, menari-nari merambati 2 tambang
sejajar, sebagai tambatan perahu itu, yang hanyut-mengalir. Hanya dengan 10 sen
dollar atau seribu rupiah, kali itu sudah terseberangi, katanya daripada jalan
memutar panjang menyita waktu. Pangkalan perahu itu terbuat dari jalinan bambu,
yang dipatok mengitari dermaga mini terbuat dari papan.
Dulu 1293, konon delapan perahu Jung-Mongol, mengaliri
sungai ini menuju Kediri, untuk melakukan hukuman pada Kertanegara. Sekarang
tiada lagi perahu yang mengaliri kali ini, walaupun untuk mengeruk
pasir-dasarnya, katanya dasar kali ini sudah dipenuhi dengan endut atau ekstrak
sampah limbah kertas, hilang sudah kenangan indah masa kecilku, 1970-an.
Beberapa bulan yang lalu, ikan kali pada mabuk,
menggelepar-gelepar menanti ajal. Walaupun telah membuat penduduk tepian kali
bersoak karena rejeki dadakan, dengan berrkintal tangkapan, tapi tetap saja
bibit-anak ikan pada mati sia-sia, memupuskan harapan hidupnya dan musnah tak
bersisa, seperti ikan sili, papar, bulus, areng-areng dan kijing.
Kali ini harus diberdayakan dengan menjadikannya tempat
wisata air dan studi biota air tawar, jika ingin tampak mengalir, bening
bersih, asri dan sehat.
(Kali Brantas-Kebraon, Surabaya 10 September 2013)