Malam itu, setelah aku ber-semedhi di kamar, aku selanjutnya
mencari sepi keluar rumah, menuju area persawahan yang jaraknya kira kira 200
meter. Luas wilayah persawahan ini merupakan sisa wilayah hijau di Kelurahan Kedurus
yang masih tersisa. Semoga saja wilayah hijau ini tidak turut tergusur,
sehingga masih bisa bermanfaat sebagai wilayah rehat bagi penduduk sekitarnya.
Bila sore tiba, maka jalanan menuju area pesawahan biasanya dikunjungi anak
anak muda remaja nongkrong bercengkerama membuang waktu ada juga beberapa orang
membawa keluarganya untuk berwisata
rehat melihat area pesawajhan yang mulai menyusut di tanah Jawa. Para petani
penggarap sawah tinggal diwilayah itu dengan mendirikan rumah berdinding bambu ditepi
jalan menuju pekuburan Bogangin itu. Diantara para petani itu ada yang kukenal,
yaitu Pak Gentong namanya. Jangan membayangkan Pak Gentong bertubuh gemuk besar
seperti sebuah gentong,
justru berlawanan dengan namanya, beliau bertubuh kurus dan agak ringkih.
Walaupun begitu semangatnya dalam mengolah sawah sungguh luar biasa. Ia bisa
mencangkul seharian tanpa mengeluh. Malam itu disinari temaram bulan purnama,
beliau duduk ditepi sawah beralaskan tikar, lalu aku lewat bersepeda. Beliau
menyapaku dan mempersilahkan berhenti mampir untuk bercengkerama. Aku turun
dari sepeda lalu duduk bersila, saling berhadapan. Rupanya secara diam diam ia memperhatikan aku
yang sering bermeditasi menghadap sawah. Ia lalu bertanya padaku, apakah sedang mencari petunjuk dari Gusti Alloh?
Kujawab bahwa aku sedang bersemedi untuk menyelaraskan pola pikirku dengan
gerak alam sekitar. Entah siapa yang memberi tahu bahwa aku sedang mencari
petunjuk untuk membuat logo perkumpulan kebatinan yang aku dirikan. Yang jelas
tiba tiba saja aku diberi wejangan agar selalu rendah diri dan menghindari
pertengkaran, sampeyan pek nisore wae,
yang artinya ambil sikap membawahi saja jangan jumawa, kudu andap asor tepo seliro marang liyan (jangan sombong,
harus merendahklan diri pada orang lain). Alhasil, Pak Gentong menyarankan lambang burung garuda, sebagai ikon perkumpulan kebathinan Paguyuban Budhiroso Sejati.
Lalu aku berpikir dan berkreasi dengan lambang itu, maka jadilah “Bintang Bersayap
Elang” sebagai hasil akhirnya lambang ini bermakna “bahwa kekuatan spiritual
(bintang) harus mengelana jauh (terbang) mencari kesejatian diri pribadi menuju
kepribadian asli yang kokoh”
SULUK JAGAD: "Alam terkembang jadi Ayatullah, Ayatullah terkembang jadi Guru". Selamat datang, ayo bergabung! Salam Rahayu, Sagung Dumadi! dari Paguyuban Budhiroso Sejati. Pertanyaan, kritik dan saran, harap ditujukan langsung ke roosdiansyahpribadi@gmail.com. Donasi mohon ditransfer ke Bank Mandiri Norek 140-00-1351363-6
Selasa, 04 Mei 2021
Bertemu Pak Gentong
Selfie w/ Pak Gentong (kanan)
Siapa Pak Gentong?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar