Adalah sebuah masyarakat yang
memiliki filsafat hidup yang berpusat pada konsep harmoni. Konsep hidup
bermasyarakat ini memiliki 2 landasan pokok yaitu,
Pertama, menghindari
konflik dan menjaga sifat hidup rukun seperti tercantum dalam peribahasa rukun
agawe santoso crah agawe bubrah artinya “kerukunan akan menjadi kuat,
perselisihan hanya akan mendatangkan kehancuran”.
Kedua, sikap hidup ini
harus dilandasi dengan siksp saling menghormati yang bertujuan pada terciptanya
keselarasan hidup. Prinsip hidup manusia Jawa juga diungkapkan dalm ungkapan tata titi tentrem karta raharja yang
berarti “tertata, cermat, tenteram dan sejahtera”. Dan untuk mengontrol nilai
itu manusia Jawa memiliki beberapa norma sosial yang merupakan kendali perilakunya
dalam hidup bermasyarakat, yaitu rukun,
tepa-slira, jujur, andhap asor, aja dumeh, tulung-tinulung, wani ngalah, wani
wedi, wani isen, kepotangan budi dll.
Manusia
Jawa juga mengakui adanya kekuatan yang Maha Tinggi. Terhadap kekuatan ini manusia berada pada
posisi yang lemah dan tak memiliki kekuatan apapun seperti dalam ungkapan ora ono daya pikuwat saka manungsa kajaba
among saking pitulunganing Gusti Allah artinya “tiada daya dan kekuatan
apapun dari manusia kecuali hanya dengan bantuan Allah”
Manusia
Jawa memiliki kepercayaan bahwa “hidup itu ada yang menghidupkan”.
Oleh sebab itu segala kejadian yang dialami manusia merupakan kehendak Tuhan.
Pandangan ini memberikan kekuatan dan semangat hidup manusia Jawa bahwa segala
perbutan dunia ini diupayakan sebagai
sarana manecapai ridho Tuhan yang membutuhkan kebaikan hidup ketika didunia (utama) dan meninggalkan perbuatan buruk
atau (nistha) sehingga dapat mencapai
derajat manusa utama (manungsa utama).
Kehendak yang kuat ini bertujuan untuk mencapai manunggaling manungsa kelawan gusti
atau “bersatunga antara manusia dengan Tuhan” yang secara simbolis harus
dipahami sebagai kembalinya manusia pada asalnya. Dalam hal ini manusia Jawa
melambangkan kesatuan itu sebagai warangka
(sarung keris) dengan curiga (mata
keris).
Manusia
Jawa percaya pada takdir Allah, pasrah ing ngarsa gusti atau pasrah pada kehendak Tuhan. Segala
sesuatu yang menimpa dirinya selalu dikembalikan dan dilandasi pada adanya
kemurahan Tuhan sesuai dengan ungkapan nrimo
ing pandum, artinya segala rejeki yang diterimanya dipercaya merupakan
kehendak Tuhan.
Manusia Jawa
meyakini bahwa hidup itu hanya sebentar dan harus dilanjutkan
untuk menjalani perjalanan panjang untuk menuju Tuhan Yang Maha Pencipta,
sesuai ungkapan urip iku mung saderma
mampir ngombe artinya “hidup itu hanyalah sekedar mampir untuk minum”. Oleh
karena itu hidup adalah kesempatan untuk mencari bekal sebanyak banyaknya,
bukan bekal harta melainkan bekal kebajikan dan amal perbuatan luhur.
Manusia
Jawa memiliki sifat pasrah dan sumarah, dalam artian manusia
sekedar berusaha sedangkan Tuhanlah yang menentukan sesuai dengan ungkapan beja cilaka dipesti pangeran atau “kebahagiaan dan penderitaan manusia
ditentukan oleh Tuhan”
Manusia
Jawa memiliki kebiasaan laku prihatin, yaitu pengekangan hawa
nafsu yang diungkapkan dengan cegah dahar
kelawan guling atau “mengurangi makan dan tidur” Bila ini dilaksanakan,
maka akan diperoleh kebersihan lahir batin yang dilandasi oleh sikap eling lan waspada (selalu ingat
dan waspada kepada Tuhan) terhadap keburukan yang datang dan godaan nafsu.
Beberapa laku lain yang biasa dilakukan oleh manusia Jawa adalah semedhi, tirakat, tingkeban, brokohan,
sepasaran, selapanan dan tedhak siten.
(Sumber : Ismail Yahya MA Dkk,
2009-3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar