Selasa, 04 Mei 2021

Bertemu Pak Gentong

Selfie w/ Pak Gentong (kanan)
  
  Siapa Pak Gentong?

Malam itu, setelah aku ber-semedhi di kamar, aku selanjutnya mencari sepi keluar rumah, menuju area persawahan yang jaraknya kira kira 200 meter. Luas wilayah persawahan ini merupakan sisa wilayah hijau di Kelurahan Kedurus yang masih tersisa. Semoga saja wilayah hijau ini tidak turut tergusur, sehingga masih bisa bermanfaat sebagai wilayah rehat bagi penduduk sekitarnya. Bila sore tiba, maka jalanan menuju area pesawahan biasanya dikunjungi anak anak muda remaja nongkrong bercengkerama membuang waktu ada juga beberapa orang membawa keluarganya  untuk berwisata rehat melihat area pesawajhan yang mulai menyusut di tanah Jawa. Para petani penggarap sawah tinggal diwilayah itu dengan mendirikan rumah berdinding bambu ditepi jalan menuju pekuburan Bogangin itu. Diantara para petani itu ada yang kukenal, yaitu Pak Gentong namanya. Jangan membayangkan Pak Gentong bertubuh gemuk besar seperti sebuah gentong, justru berlawanan dengan namanya, beliau bertubuh kurus dan agak ringkih. Walaupun begitu semangatnya dalam mengolah sawah sungguh luar biasa. Ia bisa mencangkul seharian tanpa mengeluh. Malam itu disinari temaram bulan purnama, beliau duduk ditepi sawah beralaskan tikar, lalu aku lewat bersepeda. Beliau menyapaku dan mempersilahkan berhenti mampir untuk bercengkerama. Aku turun dari sepeda lalu duduk bersila, saling berhadapan.  Rupanya secara diam diam ia memperhatikan aku yang sering bermeditasi menghadap sawah. Ia lalu bertanya padaku, apakah  sedang mencari petunjuk dari Gusti Alloh? Kujawab bahwa aku sedang bersemedi untuk menyelaraskan pola pikirku dengan gerak alam sekitar. Entah siapa yang memberi tahu bahwa aku sedang mencari petunjuk untuk membuat logo perkumpulan kebatinan yang aku dirikan. Yang jelas tiba tiba saja aku diberi wejangan agar selalu rendah diri dan menghindari pertengkaran, sampeyan pek nisore wae, yang artinya ambil sikap membawahi saja jangan jumawa, kudu andap asor tepo seliro marang liyan (jangan sombong, harus merendahklan diri pada orang lain). Alhasil, Pak Gentong menyarankan lambang burung garuda, sebagai ikon perkumpulan kebathinan Paguyuban Budhiroso Sejati. Lalu aku berpikir dan berkreasi dengan lambang itu, maka jadilah “Bintang Bersayap Elang” sebagai hasil akhirnya lambang ini bermakna “bahwa kekuatan spiritual (bintang) harus mengelana jauh (terbang) mencari kesejatian diri pribadi menuju kepribadian asli yang kokoh”  


Lambang  "Paguyuban Budhiroso Sejati"


[i]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar