Romantisme Lepas Subuh
Suara tapak langkah teriring adzan subuh.
Kusebut asma Allah menggugah keridhoannya.
Gusti, aku tidak sholat pagi ini.
Maafkan aku, bila tak berjamaah menyebutMu.
Tergerak berdingin-sepi di pagi buta ini.
Aku ingin menanti matahari.
Aku bosan dikamar sepi.
Aku berjalan mencari arti pagi-subuh membuta.
Tekeq, si burung malam itu mencicit, merintihkan suaranya,
seakan menyampaikan pesan misteri kehidupan.
Tepian waduk itu bergeragal, terasa menajam dikulit, nyeri.
Tapi oleh dinginnya subuh yang menyayat, nyeri itu
terlupakan.
Sesampai di rumah-gubuk beratap ijuk, kurebahkan rehat tubuh
penatku,
diatas balai balai bambu, yang kusam oleh waktu.
Sareh. Tenang. Sepi suara. Di sela sela dingin udara
mengembun yang mengulit,
sesekali terdengar celoteh-merdu burung Kutilang menyambut
pagi di ujung sana.
Sementara, subuh-pagi masih terkilau oleh cahaya lampu
perumahan, yang-
bayangannya tertangkap temaram permukaan air waduk,
membentuk pilar lembut berjajar, seperti tonggak tonggak asmara-merana.
Diatas kepala, rasi Orion yang perkasa, menggantung lembut,
dihiasai tebaran tipis mega, ditaburi gemintang yang berkedip silih berganti
memancarkan keindahan sihir-magisnya.
Sepi-mencekam ini begitu indah dan tenang, setenang hamparan
muka air waduk yang meng-kaca didepan mata.
Kawan, bukankah sesungguhnya kita-pribadi ini sendirian,
sementara anak adalah buah cinta, titipan Tuhan dan isteri
adalah sisihan.
Beruntung kehampaan pagi-mati ini tak berlarut.
Tak lama kemudian, diufuk timur diatas genting dan pepohonan
tampak merambat nyala binar cahya mentari pagi memerah, menapaki takdirnya yang
ghoib.
Disambut gelisah puluhan kelelawar yang menghabiskan jatah
waktu gugahnya dengan berlalu-lalang terbang menyisir muka waduk, yang sesekali
memainkan paruhnya menyambar permukaan air membentuk gelobmang kecil -nan
lembut.
Saat langit timur merah-putih saga, merambat menantang,
akupun pulang.
Diiringi capung yang berseliweran disela-sela langkah kaki,
bak pesawat terbang mini yang ringan dan menggemaskan.
Celoteh-ribut burung Kutilang-pun bersahut-sahutan
riuh-merdu, menaburkan keceriaan..
Selamat datang matahari, selamat tinggal alam subuh yang
sepi.
Dan kerutinan hidup-kerja-pun kembali menjelang.
(Waduk Kedurus-Surabaya, 6 Sepetmeber 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar